Film Review: Black Panther (2018)

Black Panther, film ke-18 dalam semesta sinematik Marvel, dinantikan dengan antusias karena dianggap sebagai film superhero berkulit hitam utama dalam skala masif, sebagaimana tahun lalu ada Wonder Woman sebagai representasi untuk superhero perempuan. Anggapan yang tidak benar-benar tepat (sudah ada Blade, Spawn atau Hancock misalnya), tapi kita mengerti maksudnya apa.

Lagi pula Black Panther menyajikan karakter-karakter berkulit hitam sebagai sentra dan fokus. Berlokasi utama di Afrika pula, alih-alih Amerika seperti kebanyakan film superhero, dengan populasi karakter berkulit putih dalam rasio minimalis serta bertugas sebagai pendukung saja.

Chadwick Boseman (Get On Up, Gods of Egypt), diset sebagai T’Challa, sang Black Panther. Berhasil menarik atensi semenjak diperkenalkan dalam Captain America: Civil War (2016), T’Challa kini harus menanggung beban ekspektasi, tidak hanya karena harus beraksi tanpa pahlawan Marvel lainnya, juga harus membuktikan jika sepak terjang solonya memang layak untuk disaksikan.

Menyambung sepenggal kisahnya dalam Civil War, T’Challa kini harus menggantikan posisi ayahnya sebagai raja untuk Wakanda di tengah Afrika sana. Memasang arketipe dunia ketiga sebagai fasad, sejatinya Wakanda adalah negara ultra-maju dengan penguasaan teknologi tingkat tinggi berkat kepemilikan vibranium selama berabad-abad lamanya.

Black Panther sebenarnya memiliki pesan subtil; jika dirimu superior dibandingkan lainnya, apakah memilih untuk menutup diri dengan alasan tidak mau menjadi sentra perhatian (dan segala implikasinya) atau membuka diri (dan segala implikasinya).

Tentunya film tidak hanya mengusung tema tentang pergesekan visi saja. Ada juga imbuhan perebutan tahta (meski tak terlalu Shakespeare-an seperti Thor), romansa, distopia, hingga aksi-petualangan ala James Bond (lengkap dengan pameran gadget canggih, perkelahian di kasino dan kebut-kebutan di jalan).

Ramuan beberapa tema tersebut pastinya memberi dinamika pada plot tipis Black Panther. Sayangnya naskah tulisan Joe Robert Cole dan Ryan Coogler yang juga bertugas sebagai sutradara terlalu banal untuk memberi impresi lebih. Bukan tidak menarik atau menghibur, tapi kedalaman atau sisi bernas tidak benar-benar tergali selain hanya tampil secara permukaan.

Ada celetukan-celetukan tentang kolonialisasi atau inter-relasi antara dunia ketiga dan barat misalnya Ada juga niat untuk menggali sejarah singkat kultur Afrika dan diasporanya. Namun terlalu tertebak dan terkadang kurang aspiratif mengingat kandungannya berangkat dari ranah pop generik. Sebagai motif, lebih condong dekoratif ketimbang substantif.

Sedikit mengecewakan memang, mengingat Coogler sukses mencuri perhatian berkat film “kecilnya”, Fruitvale Station (2013), sebuah film kaya nuansa dengan penggalian sisi humanis efektif. Bahkan saat bergerak ke film dengan skala lebih besar seperti Creed (2015), Coogler masih mampu mempertahankan kekuatan dramatiknya tadi.

Mau bagaimana lagi? Sejatinya Black Panther tetap sebuah film superhero. Di bawah naungan Marvel pula. Artinya kedalaman cerita dipinggirkan dan sensasionalitas aksi-fantasi dikedepankan. Untuk urusan disebut terakhir, Black Panther memang cukup memuaskan. Terlepas dari efek CGI yang bisa dikatakan tidak istimewa untuk film seperti ini, ia menghadirkan adegan-adegan aksi dengan intensitas terjaga.

Kelebihan lain Black Panther adalah ia diisi dengan banyak karakter-karakter berkesan. Ada Nakia (Lupita Nyong’o), mata-mata tangguh Wakanda dan mantan kekasih T’Challa. Ada Okoye (Danai Gurira), pimpinan Dora Milaje, pasukan khusus Wakanda yang keseluruhannya terdiri atas perempuan. Tentunya juga ada sang pencuri perhatian, Shuri (Letitia Wright), adik T’Challa sekaligus ahli teknologi Wakanda dan boleh menjadi tandem Q versi Ben Whishaw.

Semakin riuh dengan kehadiran aktor-aktor kenaman seperti Forest Whitaker, Angela Basset, Martin Freeman, Andy Serkis (tampak sangat menikmati aksi live-actionnya) hingga salah satu peraih nominasi Academy Award tahun ini, Daniel Kaluuya. Meski begitu, paling bersinar adalah Michael B. Jordan dalam perannya sebagai antagonis utama, Erik “Killmonger” Stevens.

Killmonger, sebagaimana umumnya antagonis MCU, memiliki keterbatasan dalam karakterisasi. Namun Jordan meniupkan ruh dan kedalaman emosional sehingga Killmonger hadir secara lebih karismatis dan memiliki spektrum lebih luas ketimbang T’Challa itu sendiri, yang ironisnya adalah karakter utama. Jordan menghadirkan gravitasi setiap karakternya hadir di layar. Ia adalah satu dari sedikit villain terbaik di wilayah Marvel.

Agak sulit membayangkan Black Panther tanpa kehadiran karakter-karakter pendukung di atas. Dimensi T’Challa sedikit terlalu satu nada atau monoton. Kalau saja ia secara absolut menjadi penggerak film dan tanpa dibekali plot menarik, Black Panther dijamin akan menjemukan. Sesuatu yang syukurnya tidak kita temui di dalamnya.

Black Panther
★★★½☆☆