Film Review: Ip Man 2 (2010)

Tidak lama berselang dari ‘Ip Man’ (2008), Donnie Yen dan Wilson Yip, sebagai pemeran utama dan sutradara, sudah mengantarkan kembali kelanjutan epik sang guru Bruce Lee tersebut dalam ‘Ip Man 2 : Chung Si Chuen Kei / 葉問2 – 宗師傳奇’ (2010). Rupanya tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk menceritakan kelanjutan hidup sang Grand Master setelah meninggalkan Fu Shan.

Hong Kong, 1949, disinilah Ip Man (Donnie Yen) hijrah dengan membawa anak serta istrinya (Lynn Hung) yang tengah hamil besar. Sebagai seseorang yang keahliannya adalah kung-fu (beraliran Wing Chun) maka menjadi Suhu atau Sifu adalah pekerjaan yang bisa dilakukan untuk menafkahi keluarganya. Murid pertamanya adalah Wong Leung (Huang Xiaoming).

Tidak lama berselang, Ip Man kemudian sudah menarik banyak murid lainnya. Namun ternyata kehadiran perguruan Ip Man mengusik eksistensi padepokan lainnya. Disinilah Ip Man belajar jika situasi ‘dunia persilatan’ Hong Kong berbeda dengan ranah daratan.

Dewan silat lokal keberatan jika Ip Man tidak “meminta izin” kepada mereka. Oleh karenanya, dipimpin oleh Hung Cun-nam (Sammo Hung) seorang Sifu senior yang beraliran Hung Kuen, meminta Ip Man untuk unjuk kebolehan dengan menantang duel. Dan akhirnya Ip Man pun berhadapan satu-lawan-satu dengan Cun-nam. Terjadilah pertarungan seru diatas meja bundar yang hanya ditopang oleh bangku antara para master di aliran Wing Chun dan Hung Kuen itu. Jika Ip Man sanggup bertahan, maka dia akan diberi izin memberi pelatihan kung-fu!

‘Ip Man 2’ masih memakai struktur naratif yang sama dengan instalmen pertamanya, dimana film memberi asupan yang bergizi akan adegan tarung kung-fu yang seru. Tidak butuh waktu lama, film sudah menghadirkan sekuens laga yang mendebarkan. Sementara plot bertujuan agar adegan-adegan laga tersebut bisa tetap eksis, sehingga skrip tidak perlu repot-repot membangun struktur yang rumit. Meski begitu, sebagai penulis skrip, Edmond Wong tetap mengizinkan ceritanya mengadopsi situasi sosial-politik saat itu sebagai latar belakang. Terutama pada bagian keduanya.

Yep. Yep. Sama halnya dengan yang pertama, film juga dibagi menjadi dua bahagian, dimana setelah terlebih dahulu menggambarkan tentang ketegangan Ip Man dengan para Sifu setempat, maka bagian kedua cerita mengambil fokus pada friksi antara penduduk lokal dengan arogansi superioritas bangsa asing (pada saat itu Hong Kong dikuasai oleh pemerintah Inggris) dengan perwujudan turnamen antara tinju Barat dengan kungfu China. Maka hadirlah karakter urakan seperti Twister (Darren Shahlavi) sebagai penantang.

Pola melawan agresi asing terhadap budaya lokal ini juga dapat ditemui pada film-film sejenis lainnya, selain ‘Ip Man’ pertama, juga ada ‘Fearless’ atau ‘True Legend’. Dan mereka bukanlah yang pertama dan tampaknya juga bukan yang terakhir. Entah mengapa akhir-akhir ini sepertinya sineas Hong Kong gemar sekali mengambil tema sejenis ini. Jika pola ini semakin sering diulangi, niscaya film-film seperti ini akan menjadi repetitif dan kehilangan gregetnya.

Syukurlah ‘Ip Man 2’ belum kehilangan gregetnya. Wilson Yip semakin piawai mengeksekusi adegan laga yang lebih tertata dan rapi. Pun terlihat lebih hati-hati dalam merangkai dramatisasinya, agar filmnya tidak melulu hanya bak-bik-buk belaka.

Pada bagian pertama, konsep tersebut berjalan lancar, dimana drama dan aksi terintegrasi dengan baik dan didukung dengan karakterisasi yang kuat. Sayangnya pada bagian kedua, sosok orang-orang asing yang menjadi antagonisnya hanya terlihat seperti sebuah sketsa ketimbang karakter yang solid. Untunglah fokus bagian kedua adalah pada adu tanding antara Twister dengan Hung Cun-nam maupun Ip Man, sehingga kelemahan bagian kedua ini tertutupi.

Donnie Yen sekali lagi adalah Ip Man yang kharismatis, seorang ahli kung-fu yang tetap membumi. Yen semakin menunjukkan taji sebagai bintang laga terdepan, dimana kemampuannya untuk berlaga dengan seru bersanding sejajar dengan kemampuan aktingnya.

Sammo Hung, selain sebagai penata kelahi di kedua film, kali ini juga berperan didepan layar sebagai Sifu senior yang digjaya, namun tidak bisa menafikan jika usia adalah sesuatu yang sulit untuk dilawan. Sammo Hung, aktor laga veteran kenamaan, terasa tepat untuk jenis karakter seperti ini.

Sayangnya karakter-karakter dari film pertama yang diperankan oleh Simon Yam dan Fan Shao-huang hanya dimunculkan sebagai pemanis saja, tanpa ada kontribusi yang ideal terhadap perkembangan plot. Padahal karakter Yam disini sebenarnya sangat menarik sekali dan pastilah bisa menambah warna pada jalinan ceritanya.

‘Ip Man 2’ adalah sebuah kung-fu-vaganza yang menawan. Sepanjang durasi pandangan ini tetap rekat kelayar, karena Wilson Yip mampu mempertahankan intensitas dari sebuah film kung-fu yang berhasil, yaitu pertarungan dengan tingkat keseruan yang tinggi serta detil yang menarik. Oleh karenanya, meski jalinan ceritanya sederhana dan tidak istimewa, kita seperti rasuk kedalamnya.

Kesimpulannya, film ini tidak kalah baik dibandingkan prekuelnya, meski tidak lebih bagus juga. Terlepas dari akurat atau tidak sebagai sebuah biopic, jika ingin menyaksikan tarung dan laga kung-fu yang seru, ‘Ip Man 2’ adalah jawabnya. Dan apakah kehadiran Bruce Lee kecil disini mungkin adalah pertanda bakal akan ada bagian ketiganya? Lantas bagaimana pula kelak ‘Ip Man’ versi sutradara unik Wong Karwai dengan Tony Leung dan Zhang Ziyi sebagai pemerannya? Mari kita menyilangkan jari.

2 responses to “Film Review: Ip Man 2 (2010)”

  1. I like your review. I really enjoyed the fight scene upside that unstable round table.It’s awesome!

    1. Thanks Yuki. And yeah, me too. I’ve enjoyed it very much. One of the most jaw-dropping fight scenes on screen.

Leave a reply to jalangfilm Cancel reply