Perfilman Indonesia dan melodrama. Sepertinya kedua hal tersebut sudah merupakan bagian yang tak terpisahkan, karena sepanjang sejarah perfilman di Indonesia, selalu ada judul-judul melodramatis yang menghiasi. ‘Satu Jam Saja’ adalah penanda kembalinya Karnos Film yang digawangi oleh Rano Karno dalam geliat industri perfilman terkini. Dan Rano Karno yang pada zamannya pun terkenal dengan membintangi sejumlah film bergenre ini pun sepertinya masih belum rela untuk mengeksplorasi sub-genre yang lebih luas.
Dulu saat masih kecil saya pernah membaca novel ‘Karmila’ karya Marga T. Saya suka sekali dengan novel tersebut. Hingga saat ini saya masih kerap membaca ulangnya. Saat masih kanak-kanak juga, saya pun pernah menyaksikan film adaptasinya. Film keluaran 1981 dan dibintangi oleh Tanti Yosepha dan Robby Sugara itu pun tak bosan-bosan saya tonton jika kebetulan ditayangkan di televisi. Apa sebenarnya kelebihan kisah Karmila ini? Kekuatannya tentu saja ada pada dinamika plot yang mengharu biru dan menguras emosi. Yah, bukannya tujuan dari melodrama pada umumnya seperti itu?
Dalam dekade terakhir ini, Rako Prijanto membuka debut penyutradaraanya melalui ‘Ungu Violet’ (2005), sebuah drama romantis dengan tipologi melodrama yang kental. Meski masih mempunyai banyak catatan disana-sini, akan tetapi menurut saya pribadi, film tersebut sudah cukup memadai dalam meniupkan atmorfir melodramatis yang diinginkan.
Kini, dalam skrip yang dituliskannya sendiri, tampaknya Rano Karno ingin mengulang kejayaan melodrama dengan mempersembahkan ‘Satu Jam Saja’ sebuah drama yang dibintangi oleh Vino G. Bastian, Revalina S. Temat dan Andhika Pratama. Kisahnya sederhana saja, tentang tiga sahabat, Andika (Vino G. Bastian), Gadis (Revalina S. Temat) dan Hans (Andhika Pratama). Suatu hari Gadis dihamili oleh Hans. Hans yang kalut kemudian menghilang entah kemana. Demi menyelamatkan nama baik Gadis maka Andika memutuskan untuk mengorbankan masa depannya dan memilih menikahi Gadis. Hans yang kemudian mendengarkan kabar tersebut kemudian kembali kehidupan Andika dan Gadis. Ia tampaknya mencoba untuk menebus kesalahannya dengan melepaskan Andika dari beban dan akan bertanggung jawab terhadap perbuatannya kepada Gadis. Justru sementara itu Andika dan Gadis malah sedang memulai kehidupan mereka yang baru dengan mencoba membangun hubungan diantara mereka. Lantas bagaimana nasib ketiganya, saudara-saudari?
Well, tentu saja kita bisa menduga-duga kemana arah film berjalan dan klimaks bagaimana yang akan dipaparkan oleh film ini. Tidak sulit. Apalagi bagi yang telah banyak menikmati film-film sejenis ini.
Tidak menjadi masalah sebenarnya, asal saja sesuatu yang klise dan terpola itu dapat diolah dengan baik, sehingga menghasilkan film dengan penceritaan yang meyakinkan dan tidak membosankan. Sayangnya itu tidak akan kita dapat dari ‘Satu Jam Saja’.
Pengenalan karakter terlalu banyak menghabiskan durasi diawal film. Apalagi ternyata karakter-karakternya toh bukan jenis njelimet yang memerlukan apresiasi khusus. Dan saat mulai memasuki konflik, sangat terasa sekali jika trio Vino-Revalina-Andhika seperti kekurangan asupan chemistry untuk membangkitkan intensitas interelasi mereka. Hasilnya, film berjalan datar, nyaris tanpa letupan emosionil yang menguras perasaan penontonnya.
Diperparah pula dengan dinamika cerita yang kurang berkembang dan nyaris statis. Memang, menjelang pertengahan cerita mulai bergerak secara lebih dinamis, akan tetapi sayangnya dengan kembali dibenturkannya karakter Hans malah membuat film kehilangan momentumnya. Pada saat film seharusnya lebih giat dalam membangun hubungan antara Andika dan Gadis. Sayang, durasi yang semakin terbatas tidak mengizinkan hal tersebut berlama-lama terjadi.
Belum lagi urgensi cerita yang kurang meyakinkan, apalagi di zaman sekarang ini. Hamil diluar nikah mungkin masih dianggap sebagai sebuah kesalahan. Akan tetapi sekarang ini bukan menjadi sesuatu hal yang harus begitu memusingkan kepala. Dalam arti selalu ada jalan keluar untuk kasus seperti ini tanpa harus terkesan melodramatis. Entah jika film ini berseting beberapa dekade yang lalu, pastilah akan terlihat cukup faktual.
Ario Rubik sendiri sebagai sutradara tampaknya memilih pendekatan yang salah untuk film ini. Melodrama dengan pace yang lambat sebenarnya bukan masalah. Contoh dapat kita temukan dalam beberapa film sejenis dari Korea atau Jepang. Sayangnya, skrip tidak mengizinkan dinamika cerita yang ritmis, sehingga pada akhirnya pace yang lambat malah semakin menambah kesan monoton.
Sebenarnya jika kesan nostaljik yang ingin dikejar oleh ‘Satu Jam Saja’ (hal yang rasanya susah terbantah dengan adanya nama-nama veteran seperti Rima Melati, Marini dan Widyawati), terus terang hal tersebut tidak tercapai. Karena jujur saja, ‘Satu Jam Saja’ adalah sebuah paket film dengan format yang lebih cocok untuk dikonsumsi di televisi saja daripada membuang-buang waktu dan uang untuk menyimaknya di layar lebar. Sudah seharusnya Karnos Film sebagai salah satu nama besar di sejarah industri film Indonesia memikirkan jenis produksi yang lebih istimewa lagi.
Leave a reply to Tata Cancel reply