Film Review: Norwegian Wood (2010)

Sutradara asal Vietnam, Tran Anh Hung, langsung melejit namanya saat ditahun 1993, saat film perdananya, ‘The Scent of Green Papaya‘ mendapatkan anugrah Caméra d’Or diacara Festival Film Cannes tahun 1993. Bahkan masuk jajaran nama-nama daftar pendek yang mengantungi nominasi Film Berbahasa Asing Terbaik untuk ajang Oscar. Harapan tentu besar tersampir dibahunya untuk mengharumkan ranah perfilman Asia. Sayangnya, film-film Tran yang kemudian beredar berikutnya tidak terlalu mendapat respon yang menggembirakan. Sampai akhirnya tibalah film kelimanya yang berjudul ‘Norwegian Wood‘ (ノルウェイの森 – Noruwei no mori), sebuah film produksi Jepang dengan barisan pendukung asal Jepang pula. Diangkat dari novel populer berjudul sama karya Haruki Murakami, jelas kita menginginkan Tran mengadopsi novel tersebut dengan perspektif subtil dirinya.

Berseting di Tokyo era 60-an, ‘Norwegian Wood’ berkisah tentang hubungan antara seorang pria usia muda dengan dua perempuan yang mengisi hidupnya secara bersamaan. Toru Watanabe (Ken’ichi Matsuyama, Death Note) sama sekali tidak menyangka pertemuannya dengan Naoko (Rinko Kikuchi, Babel), kekasih sahabatnya yang meninggal karena bunuh diri, berujung pada sebuah hubungan yang rumit. Setelah menghabiskan malam penuh keintiman, beberapa waktu kemudian Naoko menghilang. Ternyata ia tengah dirawat di sebuah sanotorium yang terletak dipegunungan untuk mengatasi masalah kejiwaanya, yang tampaknya terganggu setelah kematian kekasihnya. Disaat lain, Toru juga mulai berhubungan dengan Midori (Kiko Mizuhara), seorang gadis periang yang ternyata juga menyimpan kepedihan dibatinnya.

Dipenuhi dengan visual yang cantik, mendukung puitisme yang memenuhi narasinya, ‘Norwegian Wood’ memang sangat memanjakan mata. Suatu nilai lebih, karena saya yakin jika visual cantik ini tidak menjadi kekuatan yang signifikan, maka film akan cenderung membosankan dan bertele. Visi Tran Anh Hung mungkin adalah sebuah film yang bercerita tidak hanya secara verbal akan tetapi juga visual, sebagai simbolisasi ataupun idiom bagi esensi dari cerita yang ingin disampaikannya. Dan harus diakui, ‘Norwegian Wood’ adalah film yang indah secara fisik. Akan tetapi jika bicara isi, jujur saja menurut saya filmnya cenderung kosong dan kering.

Saya memang belum membaca novel karya Haruki Murakami itu. Namun, setelah menyaksikan filmnya, saya dapat menarik kesimpulan jika novelnya pastilah ingin bercerita tentang cinta, seks, kematian, obsesi, sastra dan dipaparkan dengan bahasa yang cerdas juga puitis. Itu yang saya rasakan dari atmosfir yang memenuhi ruang film. Tentu saja media buku sebagai bacaan berbeda dengan media film sebagai tontonan. Ada beberapa hal substantif yang mau tidak mau harus dipadatkan atau malah dieliminir untuk dapat menjadi sebuah film yang solid.

Interprestasi Tran, yang juga menulis skenarionya, adalah sebisa mungkin setia dengan materi aslinya. Dapat kita rasakan pergumulan film untuk tetap terfokus dalam topik-topik yang saya sebutkan tadi. Akan tetapi, sepanjang durasi 2 jamnya, narasi seolah mengulur-ulur cerita untuk sesuatu yang sebenarnya bisa diselesaikan dalam tempo yang lebih singkat. Tran terlalu terfokus pada gaya dan setia pada materi asli sehingga terlena untuk membuat sebuah film yang padat, meski secara substantif mungkin bisa dipertanggungjawabkan.

Mungkin ada yang bilang hanya yang telah membaca bukunya saja yang dapat menikmati filmnya. Hey, saya belum membaca bukunya, dan saya sangat menikmati filmnya, meski harus sedikit menggaruk-garuk kepala tentang karakter-karakter yang sepertinya terobsesi dengan cinta dan juga kematian, namun kalau difikir-fikir, apa yang mereka hadapi sebenarnya masalah remeh-temeh yang dibuat memusingkan. Kalaulah memang ada sesuatu yang lebih subtil dan filosofis yang ingin diungkapkan disini, saya gagal menangkapnya. Saya tidak berhasil menarik kontemplasi khusus yang bisa saya renungkan setelah menyimaknya. Apakah saya harus mencerna lagu’ Norwegian Wood’ milik The Beatles yang tampaknya menjadi inspirasi?

Meski begitu, ini tetap film yang menarik. Secara teknis sangat dapat dipertanggungjawabkan. Tentu saja jika kita mau menyediakan waktu untuk benar-benar menyerapnya sebagai sebuah film yang secara artistik mengagumkan. Kalau mengharapkan sebuah melodrama percintaan yang menguras airmata, sebaiknya dibuang jauh-jauh ekspektasi itu. Nikmati saja dia sebagai upaya seorang sutradara berbakat bernama Tran Ahn Hung mengeksplorasi cita-rasa seni sinematisnya.

Ohya, kredit lebih lain adalah untuk musik pengiring eklektik olahan Jonny Greenwood, gitaris kumpulan musik ternama, Radiohead.

 

One response to “Film Review: Norwegian Wood (2010)”

  1. Rakhmat Gibran Avatar
    Rakhmat Gibran

    ulasan yang menarik!
    Selama ini saya cuma baca ulasan novelnya saja, jaadi tertarik nih pengen nyari DVDnya.

Leave a comment