Film Review: Babi Buta Yang Ingin Terbang (2008)

Di negara ini saya dibesarkan sebagai mayoritas, mulai dari ras (pribumi), agama (Islam), sampai status ekonomi (miskin), jadi saya hidup tanpa terlalu banyak memikirkan tekanan sosial yang diskriminatif serta membuat saya menjadi depresi atau sejenisnya. Ketika menyaksikan karakter-karakter seperti Linda, Cahyono, Verawaty dan Halim di dalam film ‘Babi Buta Yang Ingin Terbang’, saya jadi berfikir, sebegitu beratkah menjadi seseorang dengan atribut minoritas di Indonesia, sehingga menoreh luka batin yang mendalam serta mempengaruhi aspek psikologis mereka?

Halim (Pong Harjatmo) adalah seorang dokter gigi yang kerap memakai kacamata hitam karena malu mempunyai mata yang sipit. Istrinya, Verawaty (Elizabeth Maria), seorang mantan atlit bulu tangkis berprestasi yang melepaskan karirnya hanya karena celetukan saat bertanding melawan pebulu tangkis asal China, “mana yang Indonesia, mana yang China?”. Putri mereka Linda (Ladya Cheryl) dibesarkan ditengah krisis identitas orangtuanya, sehingga pada akhirnya ia menjadi ignoran terhadap mereka dan kemudian seolah terobsesi dengan petasan sebagai pengusir setan serta teman masa kecilnya, seorang turunan Manado yang kerap disangka Tiong Hoa dan pada akhirnya sering kena buli, Cahyono (Carlo Genta).

Selain mereka ada karakter-karakter satelit seperti Salmah (Andara Early), perempuan Jawa muslim yang kemudian dinikahi Halim, opa-nya Linda yang mengajari soal sejarah imigran Tiong Hoa, serta sepasang pejabat homoseksual, Helmi (Wicaksono) dan Yahya (Joko Anwar) kenalan Halim dengan agenda yang “berbahaya”.

Pernah menonton ‘Kara Anak Sebatang Pohon’ (2005) tidak? Film pendek Indonesia pertama yang menyentuh Cannes itu disutradarai oleh Edwin. Dan, setelah mengerjakan beberapa film pendek lainnya, dia berkesempatan untuk menyelesaikan film fitur panjang pertamanya, ‘Babi Buta Yang Ingin Terbang’ (2008).

Edwin bersama filmnya ini sepertinya mencoba mencuplik kehidupan keluarga Halim sebagai diorama problematika keturunan etnis minoritas. Dengan isu yang sensitif seperti ini, film bercerita melalui kumpulan adegan dalam segmen-segmen. Penanda segmen tersebut adalah pemberian judul untuk setiapnya, seperti ‘Linda dan Papanya’ dan seterusnya.

‘Babi Buta Yang Ingin Terbang’ adalah sebuah film yang personal. Itu jelas terlihat. Saya faham mungkin saja ada beberapa orang dari minoritas Tiong Hoa yang mengalami kasus serupa, namun kok saya tidak yakin ini merupakan gambaran representatif untuk menggambarkan situasi sosial komunitas etnis minoritas tersebut di negara ini.

Meski saya dibesarkan sebagai mayoritas, akan tetapi ada aspek hidup yang membuat saya masuk dalam golongan minoritas tertentu dan saya mengerti jika sebagai minoritas pastilah kita tunduk pada “aturan” yang berlaku umum. Namun, itu tidak menghalangi saya untuk tetap melakukan “kehidupan” saya. Toh, meski terkadang menerima perlakuan diskriminatif, itu tidak membuat saya seperti kehilangan identitas diri saya.

Kita tidak bisa menafikan banyak terjadi peristiwa menggiriskan yang melibatkan etnis Tiong Hoa selama ini. Dan itu tidak semua tidak terlepas dari stigma dan prejudis terhadap etnis tersebut. Namun, toh hidup terus berlanjut, dan secara umum menurut saya begitulah yang terjadi pada kita semua sehingga tidak perlu melakukan perbuatan-perbuatan ekstrim untuk menegasikan eksistensi masing-masing.

‘Babi Buta Yang Ingin Terbang’ adalah bukti akan kredibilitas seorang Edwin terhadap visualisasi yang sinematis dan cantik, seperti insert-insert seekor babi yang terikat di tengah padang di Gunung Bromo. Adegan tersebut tentu saja dapat kita sadari sebagai metafora akan konteks yang ingin dibicarakan film. Indonesia mungkin saja bukan negara Islam, akan tetapi babi sudah terkonsep umum sebagai hewan yang menjijikkan dan patut untuk dihindari.

Film lebih banyak mengandalkan pada pengadeganan secara visual dimana Edwin mungkin mengharapkan penonton dapat merelasikan diri mereka melalui gambaran yang minim dialog. Pada akhirnya penonton diajak untuk mengikuti beberapa cuplikan kehidupan karakter-karakternya melalui kilas maju mundur.

Sayangnya Edwin menurut saya adalah pencerita yang buruk. Saya tidak ada masalah dengan film yang minim dialog, bahkan tak berdialog sama sekali, karena gambar juga bisa berbicara dengan kuat. Itu tidak terjadi disini. ‘Babi Buta Yang Ingin Terbang’ terlalu sibuk sendiri merangkai kepingan puzzle-nya seelaboratif mungkin, tapi melupakan jika film juga seharusnya narasi yang ingin bercerita. Inti film bahkan sudah didapat melalui segmen pertama, saat Verawaty bertanding bulutangkis.

Tapi tidak! Edwin ingin (terlalu) menegaskan kita untuk harus merasakan krisis yang dialami oleh karakternya. Mereka hanya ingin dicintai dan diakui layaknya lagu ‘I Just Called to Say I Love You’ milik Stevie Wonder. Jadi berulang-ulang karakternya menyanyikan lagu tersebut dan mengajak karakter lain (mungkin penonton juga) untuk bersama-sama menyanyikannya (dalam harmoni mungkin).

Tapi kemudian itu terasa terlalu berlebihan. Sama halnya dengan banyak yang terasa dipanjang-panjangkan meski tujuan adegan tersebut sudah disampaikan. Contohnya saja adegan threesome homoseksual yang mengambil durasi lebih daripada yang seharusnya. Oke, kami para penonton sudah mendapatkan maksudnya, namun maaf Edwin, Anda kemudian tidak perlu berpanjang-panjang dengan elaborasi detil adegan tersebut. Bukannya saya alergi dengan adegan homoseksual, namun sesuatu yang diluar konteks hanya akan mengalihkan kita dari isu utama.

‘Babi Buta Yang Ingin Terbang’ hanya 77 menit, akan tetapi entah mengapa film ini malah terasa terlalu panjang dari seharusnya dan mengundang rasa bosan. A big no-no for a film, I supposed. Mungkin Edwin seharusnya tetap berada dijalur film pendek saja, karena ia terasa lebih efektif disana. And such a waste for big talents that involved.

 

Film ini saya tonton sebagai rangkaian JiFFest Traveling 2010 di Medan, 07-05 Mei 2010

8 responses to “Film Review: Babi Buta Yang Ingin Terbang (2008)”

  1. Bang Harisss! Hehehe… maap ternyata aku tidak bisa menemukannya! hihihi.. tapi ternyata nama ini udah bagus kok! Wiuh, akhirnya ketemu juga movie reviewer yang mumpuni! Congratz on your jalangfilm! I’m sure it will be a very good summary to get easily comprehend!

    1. Waduh Alei, abangmu ini belum ada apa2nya, hahahaha. Tuh, teman2 yg ada linknya disamping, tulisannya dahsyat2 semua deh, hehehe.

      But thanks for the complimentary. You made me blushing, hehehe

  2. Gue gak bakalan bisa komen sebelum liat filmnya

    1. Susah nih can, untuk dapat kesempatan nontonnya. Kemarin aja sampe bela2in segala

  3. Hmmm….joko anwar jadi homo d film ini…tak sulit membayangkan meski blm nonton filmny…

    1. Yeee…niat ditonton gak bu? Hehehe

  4. Wow bagus sekali reviewnya, memabantu saya yang minggu depan bakal presentasi nilai representatif dari film ini di matakuliah engantar kajian media. Terima kasih 😀

    1. You’re most welcome 🙂

Leave a comment