Film Review: 9 Summers 10 Autumns (2013)

9 Summers 10Autumns

Sangat menarik sudut pandang yang diajukan dalam 9 Summers 10 Autumns (9S10A), sebuah film baru karya Ifa Isfansyah (Sang Penari, 2011), yang sedikit bersebrangan dengan film-film sejenis yang juga diangkat dari buku kisah sukses keluar dari kemiskinan seperti Laskar Pelangi (2008) atau Negeri 5 Menara (2012). Jika di film-film tersebut pendidikan merupakan jalan untuk meraih kesuksesan (yang ditandai dengan menyambangi negeri-negeri asing), maka dalam 9S10A, Iwan (Ihsan Tarore, Sang Pencerah, 2010) juga mengandalkan keluarganya yang mendorong dirinya untuk lebih maju. Hijrah ke New York selama kurang lebih 10 mungkin bisa menjadi salah satu indkasi keberhasilannya. Namun, Iwan ternyata lebih memilih negeri tercintanya sendiri ketimbang hidup mapan di luar negeri.

Mungkin terdengar patriotis sekali. Tapi ini bukan kisah tentang nasionalisme yang menggebu. Sebagaimana umumnya film drama Indonesia, 9S10A lebih menitik beratkan pada persoalan-persoalan keluarga yang rasanya lekat dengan banyak orang. Tidak mengherankan jika 9S10A terasa sangat akrab dan mengembalikan perasaan hangat akan pentingnya arti keluarga. Skrip yang dikerjakan oleh Ifa bersama Fajar Nugros dan sang penulis buku, Iwan Setyawan juga cukup berani dengan menghadirkan sosok Iwan yang tak “sempurna”, karena sebagaimana umumnya manusia, ia pun tak lekat dengan khilaf oleh egoisme.

Menarik saat karakter Iwan sedari dini digambarkan sebagai sosok yang jauh dari ideal dalam konsep film motivasional. Sebagai satu-satunya anak laki-laki di sebuah keluarga sederhana di kota Batu, Malang, jelas jika menjadi harapan sang bapak (Alex Komang) untuk meneruskan kewajibannya menafkahi keluarga. Sedari kecil Iwan sudah diajak menemani bapak yang bekerja sebagai supir angkot.

Tapi Iwan tidak suka kehidupan jalanan. Ia lebih suka tenggelam dalam hafalan-hafalan pelajaran atau pekerjaan rumah yang diberikan oleh gurunya. Terkadang ia suka membantu ibuk (Dewi Irawan) di dapur ketimbang menolong bapak membenarkan mesin mobil angkot mereka. Kakak-kakaknya (Agni Pratistha dan Dira Sugandi) pun tak kalah cerdas dengan Iwan dan mereka juga sangat mendorong kemajuan Iwan.  Namun begitu, ibuklah yang sangat berperan penting dalam memberikan Iwan kesempatan untuk maju meski tidak jarang harus bersebrangan pendapat dengan suaminya sendiri.

Film jelas menjadi ajang untuk menggambarkan tekad ibuk dalam mendidik anak-anaknya untuk mencapai pendidikan yang tinggi. Dewi Irawan bermain dengan baik akan tetapi ternyata justru Alex Komang yang bermain dengan sangat gemilang sebagai sosok kepala keluarga yang kepentingnya berbenturan dengan keinginan orang-orang yang justru ingin dilindunginya. Sedang Ihsan Tarore berusaha memberikan upaya terbaiknya untuk menduplikat sosok Iwan Setyawan.

Film 9S10A tampaknya tak ingin terjebak pada adegan yang menguras airmata sehingga meski film punya potensi untuk itu, mereka memilih untuk menghadirkan adegan-adegan yang diharapkan dapat memberi motivasi ke pada penontonnya. Tentu saja ada situasi yang mengharuskan karakter-karakternya berurai air mata, meski tidak berlebihan. Tampaknya film lebih memilih ketegaran ketimbang kesedihan.

Mungkin saja film memang berniat menghadirkan karakter yang “manusia” tadi, namun pada akhirnya, entah sengaja atau tidak, karakter Iwan terpinggirkan dengan telak oleh sosok Bapak dan Ibuk. Mereka hadir dengan karakterisasi yang kuat dan memorable, sangat mencuri perhatian. Sementara karakter Iwan tidak lebih dari seorang anak cengeng yang hobi menggerutu dan terkadang labil yang sepanjang film terkenang akan masa-masa “pedihnya” sebelum sukses di New York.

Namun “sukses” yang bagaimana? Kecuali potongan informasi yang mengatakan Iwan sudah bolak-balik mengirimkan surat resign selama di New York, tidak pernah jelas memperlihatkan. Oh ya, mungkin film memang sebuah memoar tentang memoria, bukan tentang kisah sukses itu sendiri, sehingga tidak heran plot yang berjalan dengan mengambil alur kilas balik, begitu rajin mencuplik potongan-potongan kenangan tersebut.

Paruh pertama film, saat Iwan masih kanak-kanak dan bergelut dengan kegelisahan kanak-kanaknya serta friksi yang mulai terbangun dengan sang ayah, dibangun dengan presisi yang pas takarannya. Sayangnya, memasuki paruh kedua, saat Iwan beranjak dewasa, kita tidak menemukan masalah serupa.

Masalah 9S10A adalah dia ingin bercerita tentang banyak hal dalam durasi yang terbatas. Inilah yang menyebabkan film seperti tidak memiliki fokus yang jelas. Dengan durasi 114 menit, film terasa berlarat dan tertatih. Syukurlah Ifa Ifansyah memoles filmnya dengan sangat cantik. Visual garapan Gandang Warah (7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita, 2011) sebagai penata kamera begitu memanjakan mata dan mengalihkan rasa lelah saat menyaksikan filmnya.

Leave a comment